Alkisah seorang lelaki yang
memelihara seekor sapi yang tiap tahunnya melahirkan anak sapi, sehingga ia
sungguh mencintai sapi tersebut dari apapun bahkan anaknya sendiri. Nah, suatu
hari ia meminta anak laki-laki yang tertua untuk membawa sapi tersebut ke
padang rumput agar bisa makan sepuasnya. Selesai dengan tugasnya si tertua
membawa sapi pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ayahnya penasaran dan bertanya
pada sapi tersebut sudahkah ia diberi makan dan minum yang cukup. Si sapi
menjawab belum, ia bahkan berkata bahwa anak laki-laki tertuanya hanya tiduran
dan membiarkan dirinya terikat di pohon.
Sang ayah mendengar keluhan si
sapi sangat marah, lalu mengusir anak tertuanya itu. Anak laki-lakinya pergi
berkelana sampai ia tiba di sebuah ladang milik seorang petani yang dikemudian hari
ia banyak belajar bercocok tanam darinya.
Di hari yang berbeda, sang ayah
memerintahkan anak laki-laki yang kedua untuk membawa sapinya ke padang rumput
agar ia dimandikan dan diberi makanan berupa rumput yang segar. Sang anakpun menuruti
perintah ayahnya, ia memandikan sapi dan memberinya makanan berupa hamparan
rumput yang hijau lagi segar. Ia mengikatkan sapi tersebut di sebuah pohon
sambil menunggu kering setelah dimandikan, ia berteduh di bawah pohon tidak
jauh dari tempat dimana sapi ditambatkan.
Sang ayah datang untuk mengecek
tugas anak keduanya, begitu melihat anaknya lagi tiduran langsung ia mencambuk
dan mengejar anaknya hingga sang anak lari menjauh meninggalkan rumah. Anak keduanya
itu terus berjalan berhari-hari hingga sampailah ia di rumah seorang pandai
besi. Dari pandai tersebut ia bercerita tentang kejadian yang dialaminya, sang
pandai besi merasa iba padanya. Ia berharap suatu hari nanti bisa membantu si
anak untuk menyadarkan ayahnya. Ia juga mengajari si anak cara membuat cangkul,
sabit dan alat-alat dari logam.
Tinggalah sang ayah dengan anak
terakhirnya dan si sapi. Ia pun minta anak terakhirnya untuk membawa sapinya
mencari makan dan memandikan sapi tersebut. Anak ketiga menuruti perintah sang
ayah, dan berharap tidak mengecewakan ayahnya. Sang anak membawa sapi ke tempat
dimana terhampar padang rumput yang hijau dengan terdapat sebuah kubangan air
yang cukup dalam untuk memandikan sapi tersebut.
Sesampainya di rumah, setelah
tugasnya selesai sang anak ditanya ayahnya apakah tugasnya berhasil, sang anak
menjawab bahwa tugasnya telah dilaksanakan dengan baik. Seperti biasanya sang
ayah mengecek dengan bertanya pada si sapi. Si sapi menjawab bahwa anak
ketiganya itu tidak ada bedanya dengan kedua kakaknya, ia tidak dimandikan dan
diberikan makan rumput yang cukup. Sang ayah sangat kecewa terhadap anak
ketiganya, ia pun mengusir anak ketiganya itu agar pergi dari rumah
sejauh-jauhnya. Maka melihat kemarahan sang ayah, anak ketiga itu pergi jauh
hingga ia bertemu dengan seorang yang berilmu, yang pandai membaca dan menulis
serta memiliki ilmu yang luas. Laki-laki tersebut dengan bijaksana menasehati
anak ketiga, bahkan mengajarinya membaca dan menulis. Siapa tahu dengan
bantuannya itu, anak ketiga bisa menyadarkan ayahnya yang telah salah jalan dimana sang ayah lebih mau mendengarkan sapi ketimbang anak-anaknya.
Tinggalah sang laki-laki
sendirian hanya dengan sapi miliknya. Maka ia sendiri yang harus membawa sapi
untuk mencari makan di padang rumput, setelah beberapa waktu lamanya sapi
dibiarkan melahap rerumputan yang segar, ia beristirahat sebentar di bawah
pohon. Saat bangun dari tidurnya, ia menghampiri si sapi dan bertanya apakah ia
sudah kenyang dengan makan rumput yang banyak. Jawaban si sapi sungguh
mengejutkan dirinya, bukan kenyang tapi si sapi malahan berkata bahwa laki-laki
itu munafik dan sangat buruk seperti anak-anaknya. Sang laki-laki tersebut
sangat marah dan baru sadar selama ini ia tertipu dengan sapi yang dianggapnya
membawa keberuntungan. Sebaliknya selama ini ia mengabaikan penjelasan dari ketiga
anaknya, rasa cintanya terhadap sapi telah membutakan dirinya terhadap
kebenaran. Laki-laki itu mengikat si sapi dibiarkannya hingga mati.
Sang laki-laki tersebut kini
merana, ia pun mengembara, mencari ketiga anaknya, mengunjungi kampung,
berpindah dari satu desa ke desa lain. Di akhir pencariannya itu ia letih dan
memutuskan kembali ke rumah. Selang beberapa tahun kemudian di hari yang ramai
untuk pergi ke pasar, ia hendak membeli kebutuhan sehari-hari. Belum sampai di
pasar, ia jatuh pingsan di jalan, kerumunan orang membantu dirinya. Setelah tersadar
dari pingsannya, ia mendapati sang anak tertua yang kebetulan menjual hasil
pertanian, ada anak keduanya juga yang menjual perlengkapan bercocok tanam,
tidak ketinggalan anak ketiganya yang sedang menemani gurunya pergi ke pasar
untuk membeli makanan. Dari situlah ketiga anak bertemu dengan ayah mereka,
keluarga akhirnya berkumpul kembali. Sang laki-laki menangis bercampur haru, ia
tidak hanya sadarkan diri dari pingsan tapi juga benar-benar sadar bahwa ketiga
anaknya tersebut lebih berharga daripada sekedar seekor sapi yang pernah ia
miliki. Sang ayah meminta maaf atas apa yang telah diperbuatnya kepada mereka
selama ini dan meminta ketiga anaknya untuk pulang bersama-sama. Akhirnya ayah
dan ketiga anak laki-lakinya tersebut mengakhiri cerita dengan bahagia.
Butuh Kesadaran Diri Agar
Kondisi Lebih Baik
Dari cerita sapi yang membutakan
seorang laki-laki dari kebaikan putranya, ada hal yang bisa kita garis bawahi,
salah satunya adalah sikap mau instropeksi diri. Mengevaluasi diri menumbuhkan
kesadaran apakah selama ini yang diperbuat itu sudah benar atau masih salah
jalan. Jangan sampai kesalahan itu dilakukan gara-gara kita bodoh tidak mau
belajar, tidak mau mengambil pelajaran dari setiap musibah, ujian, ataupun
semua peristiwa yang kita alami. Terkadang kebanyakan dari kita adalah tipe
menunggu teguran yang keras dari Tuhan agar benar-benar tersadar jika selama
ini telah salah langkah. Teguran keras itu bisa berupa musibah yang berat,
misalnya kecelakaan, kehilangan harta, bangkrut usahanya hingga jatuh miskin,
mendapat malapetaka yang merenggut orang-orang yang kita sayangi dsb. Hingga jiwa
kita tergoncang, butuh pelarian, butuh tempat mengadu, dan ternyata itu semua
adalah bentuk teguran dari Tuhan karena kita lalai, jauh dari ajarannya, atau
bahkan terlalu banyak maksiat dan dosa yang kita lakukan. Bisa jadi banyak
orang yang teraniaya karena kesalahan yang selama ini sudah kita perbuat. Maka setelah
sadar akan teguran keras tersebut, sambangi orang-orang yang pernah kita lukai
dan minta maaflah pada mereka. Kesalahan dan dosa pada Tuhan akan terhapus
dengan taubatan nasuha, namun kesalahan pada orang yang kita aniaya dan kita
sakiti hanya akan terhapus bila orang-orang tersebut memaafkannya. Jika tidak
dilakukan, maka ada kesempatan tersendiri bagi orang-orang tadi untuk meminta
pertanggungjawaban kita di akhirat. Percayakah dengan akhirat? Muslim harusnya
percaya sama akhirat. So, kawan semua tindak-tanduk kita sering-seringlah
dievaluasi. Kapan mengevaluasinya? Saran terbaik adalah setiap hari menjelang
tidur, karena bisa jadi aktivitas seharian sejak pagi hingga malam ada yang
bersinggungan dengan orang lain.
Jangan Terbuai Dengan Harta
Dunia
Hanya dengan melahirkan anak sapi
setiap tahunnya, sang laki-laki sudah cinta buta terhadap sapi. Yaps, terbuai
dengan harta benda dunia, termasuk di dalamnya hewan ternak yang dipelihara. Jika
itu lebih membanggakan bagi kita, maka kekecewaan akan didapat di kemudian
hari. Karena apa? Tentunya karena alasan bahwa harta benda tersebut sesuatu
yang tidak kekal, akan benar-benar membawa manfaat jika ada nilai kebaikan dari
harta yang dimiliki tadi. Namun sebaliknya jika sekedar dikumpulkan saja,
dinikmati sendiri untuk hura-hura, jauh dari jalan Tuhan, atau tidak pernah
digunakan untuk membantu orang dan lainnya maka harta melimpah namun secara
bobot nilai diakhirat itu nol. Sekali lagi percayakah dengan akhirat? Muslim harusnya
mengimaninya. Awalnya mungkin tidak terlalu terbuai dengan harta dunia, namun
begitu merasakan kenikmatan dan kemudahan dari harta dimiliki semakin banyak
semakin nikmat, maka lupa semua dengan ajaran kebajikan untuk dibelanjakan di
jalan Tuhan, membantu fakir miskin, membantu anak-anak yatim piatu, memberi
makan orang-orang gelandangan, memberikan lapangan pekerjaan kepada orang-orang
Indonesia yang saat ini kebanyakan menganggur tanpa kerja, bahkan bisa jadi
tanpa penghasilan, atau punya penghasilan namun masih kekurangan. Ya, rakyat
Indonesia yang belum sejahtera di tahun 2017 itu masih cukup banyak, jadi
presiden di tahun 2017 sangat bertanggungjawab atas rakyatnya yang kelaparan,
bukannya tidak mau menjadi rakyat yang mandiri, tapi sesuai amanat
undang-undang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara (pasal 34 ayat 1 UUD ’45).” Emang fakir miskin itu bisa kelaparan? Emang anak-anak terlantar enggak bisa nyari makan sendiri? Bagi kawan semua yang sudah pernah lulus Sekolah Dasar, pastilah tahu jika orang miskin & anak terlantar bisa kelaparan, peluangnya lebih besar ketimbang kita yang tidak miskin dan juga tidak terlantar. Kalo enggak bisa menjalankan amanat
undang-undang, ya presiden diganti aja, orang cina yang bos yang sudah kaya,
cukong-cukong cina yang mengeruk bahkan yang termasuk koruptor kelas kakap, harta mereka itu cukup untuk memberikan makan para kaum dhuafa di tanah air ini. Tangkap dan penjarakan mereka, bukan kyai dan ulama serta orang-orang yang lantang berteriak kejujuran dan keadilan menentang rezim pemimpin zalim.
Jangan dipilih lagi ya presiden
di tahun 2017, presiden di tahun ini enggak cocok untuk NKRI di tahun
2019-2024. Memberi saran adalah bentuk
kritikan positif agar pemimpin yang ada di ibu pertiwi ini benar-benar yang
cinta rakyatnya, bukan cinta antek asing, yang sayang sama pribumi bukan cukong
penggagas reklamasi. Say goodbye untuk kodok dan kroni-kroninya. Berpikir positif
itu adalah merenungkan masa depan NKRI ditangan pemimpin yang lebih bijaksana,
adil dan amanah.
The Precious Cow
There was a man with three sons
and a precious cow. The man was very proud of his cow because she gave birth to
a healthy calf every year. One day, the man asked his eldest son to take the
cow grazing. The son took the cow to the fields where green grass grew and then
to the water-hole for a nice long drink.
Later, the man asked the cow,
“Cow, did you have enough to eat?”
“Hmm,” the cow replied. “Your
wicked son took me the wilderness where no grass grows. Then he tied me up and
went to sleep.”
The man was angry with his eldest
son and sent him away from home.
The eldest son wandered through
green meadows, parched lands and waded across little ponds until he arrived at
farmhouse. There he met a kind farmer who taught him how to farm in both dry
and wet seasons.
The farmer told the boy, “One day
I will have to send you back to your father, so you can teach him how to farm.
Then he can depend less on that wicked cow.”
Meanwhile, the boy’s father had
called his second son. “Go and graze the cow. She must be well fed and washed.”
The second son took the cow to the green fields where she grazed. Then he gave
her a bath and tied her to a tree to dry. As he waited for the cow to dry, he
dozed off.
The father came by to see how his
cow was doing. “Have you eaten?” the man asked the cow.
“Hmm,” the cow replied. “Your
wicked son took me to the wilderness where no grass grows. Then he tied me up
and went to sleep.”
The man was again very angry. He
grabbed a big stick and woke his son up. Then he chased him away.
The second son wandered for days
until he came upon the house of a blacksmith. The blacksmith taught him how to
make hoes and machetes for farming as well as bows and arrows for hunting. The
blcksmith told the boy, “One day, I will have to send you back to your father
so you can teach him how to make these tools. The he can depend less on that
wicked cow.”
The father had now called his
third and favorite son. “Go and graze the cow. Be sure to take good care of her
for it will break my heart to send you away like your brothers,” he warned his
son.
The son took the cow to the green
fields where she grazed and bathed. Then he tied her to a tree to dry. Just
then the father arrived.
“Cow,” he asked. “Did you have
enough to eat?”
“Hmm,” the cow replied. “Your
favorite son is just as wicked as his brothers. He took to the wilderness where
no grass grows. Then he tied me up here to die.”
The man was very sad to hear this
but he wouldn’t his listen to his son’s please. He sent him away just like his
brothers before him.
The third son wandered for many
days until he reached the house of a great scholar. Then he learned to read and
write.
The father who was now alone took
the cow grazing. He took the cow to a pasture where she ate plenty of lush
grass and drank plenty of water while the man dozed under a tree. When the man
woke up, he asked the cow, “Are you full?!”
The cow laughed. “You’re
hypocrite like your sons. You took me into the wilderness. You gave me no food
and no water. Then you ask me if I’m full?!”
The man couldn’t believe what he
heard. “Ahh, you’ve lying to me all along,” he wailed. “I sent my sons away
because of your lies.” He beat the cow with a stick then he tied her up to a
tree and left to die.
The man wandered from village to
village looking for his sons, but with no luck. After many years, he returned
home a sad and tired oldman.
One market day, he decided to go to the market to buy himself some food.
When he got to the edge of the market, he was tired and slumped and fainted. People
ran to help him. The noise attracted everyone. Everyone, including the eldest
son who had come to sell some of his farm products, the second son who had cpme
to sell the tools he made and the third son who had accompanied his teacher to
the market to buy some food. The boy noticed that the person who had fainted
was their father and at the same time, they found one another. They were
overjoyed.
When the old man was revived, he
wept with joy at seeing his sons once again. He asked for their forgiveness and
pleaded with them to come back home. “My eyes were opened long ago. You are
more precious to me than a cow.”
Related Posts: