Waktu telah sore dan hampir posisi jam 5 petang hari, saya hari ini masih berada di lingkungan sekolah, sambil menunggu up load file yang belum selesai karena file yang di unggah ukuran 2 GB lebih. Saya mencoba menganalisa beberapa hasil penilaian evaluasi belajar beberapa murid kelas akhir yang masih belum cukup memuaskan tentunya untuk mapel Bahasa Inggris. Ada 2 hal yang ingin saya bagikan dalam situasi saat ini, yang pertama adalah dalam melakukan kegiatan dari awal niatannya haruslah bagus tidak boleh memiliki niat yang rusak. Niatan yang rusak sewaktu-waktu berubah wujud menjadi hasrat dan maksud yang salah, manakala mendominasi dalam perbuatan ditakutkan keistiqomahan yang dimiliki itu terganggu. Contohnya saja, saya memiliki beberapa agenda salah satunya memberi jam tambahan (biasa disebut les) yang hal itu tidak termuat dalam jadwal resmi sekolah, artinya murni karena melihat kondisi/ latarbelakang kemampuan anak didik yang butuh digenjot ekstra agar sesuai dengan standar minimal. Saya merasakan sendiri kondisi ini sungguh menguras energi ketika waktu/jadwal kegiatan yang padat dan emosi psikologis, maka tips diawal yaitu sejak pertama kali dijalankan program ini harus memiliki kelurusan niat. Contoh kedua, yakni beberapa pekan lalu saya dengan beberapa sahabat alumni kampus mengadakan kegiatan outbond ke daerah Talun tepatnya di curug Bidadari, dari awal rencana jumlah peserta yang akan ikut adalah 12 orang ternyata ketika pelaksanaan hanya kurang dari setengahnya yaitu cuma 5 orang. Nah, saat itu antara berangkat dan tidak, kami menunggu siapa tahu ada teman lain yang akan berangkat, akhirnya pukul 10 pagi datanglah 1 orang teman lagi yang bergabung hingga genap 6 orang. Karena di awal sudah komitmen maka 6 orang ini termasuk saya berangkat ke lokasi pukul 10 pagi. Kami berenam melaksanakan kegiatan outbond hingga pukul 3 sore, sayangnya hujan deras sejak jam 12 siang hingga jam 3 sore. Saat itu terbersit pikiran mengeluh dan menyesal karena kegiatan berjalan kurang optimal. Namun karena awalnya memang sudah berkomitmen dan atas kesadaran masing-masing, maka kami mengambil hikmah dari peristiwa itu.
Jadi hal pertama yang mendasar adalah niatan yang tidak boleh rusak hanya dikarenakan oleh faktor eksternal yang bersifat insidental ataupun pragmatis. Hal kedua yang saya bagi adalah mengenai komunikasi yang tepat sasaran (efektif). Contohnya, saya memiliki kendala ketika menjalankan program hiking untuk kelompok les Bahasa Inggris sekitar bulan Desember lalu, kendalanya yaitu ketika beberapa murid yang tidak rajin berangkat les, mereka terlambat dalam mendapatkan info kegiatan ini, jadi informasinya baru sampai kepada mereka beberapa hari setelah pelaksanaan hiking. Akhirnya saya sedikit cross check dengan beberapa siswa yang berhalangan ikut, ternyata diantara mereka yang tidak ikut, yang benar-benar malas (tidak ingin) mengikuti kegiatan hiking hanya berjumlah 1 orang, selebihnya murni karena faktor keterlambatan informasi. Hal inilah yang di kemudian hari lebih teliti dan bijaksana, oleh karenanya saya selalu menerapkan reward and punishment (imbalan dan hukuman poin/status), bertujuan untuk memberitahukan kepada yang bersangkutan bahwa kesungguhan itu harus ada dalam melaksanakan program apapun.
Dua alinea diatas adalah pengalaman riil pribadi, saya sudah melakukannya dan hingga saat ini beberapa diantaranya masih terus berlanjut. Saya pernah membaca sebuah hadits (yaitu hadist arba'in yang pertama) tentang segala amal tergantung dari kadar niatnya. Hanya niat baguslah yang membuat kita sanggup istiqomah (dalam hal ini adalah niat hanya karena tunduk dan beribadah pada Allah swt), menjadikan lebih tegar dalam medan pertarungan, bahkan yang terkadang mendatangkan pertolongan dari Allah swt yang tidak disangka-sangka. Alangkah baiknya, jika niat yang misalnya saja rusak, kita ganti dengan niat baru yang sungguh-sungguh murni karena tuhan kita Allah swt. Di posisi inilah perbedaan orang yang memiliki faith dengan orang atheis, ketiadaan unsur keyakinan dalam hati orang yang tidak meyakini adanya tuhan.
Harap-harap cemas, mungkin itulah ketika kita sedang berjuang dan sudah disertai dengan niatan yang benar. Kenapa harap-harap cemas? Karena tentunya yang bisa dilakukan adalah berusaha optimal, untuk hasil itu sudah menjadi bagian takdir (kata takdir disini adalah jika sesuatu itu sudah terjadi). Artinya misal saja saat ini 5 hari menjelang tes wawancara panggilan kerja, kemudian kita bilang, "ah buat apa menyiapkan sungguh-suingguh, toh yang melamar untuk posisi pekerjaan itu 1 : 30 orang, percuma saya berlatih dan menyiapkan segala sesuatunya, karena akhirnya tidak lolos juga dan takdir selalu buruk dalam diri saya jika berkaitan mencari lowongan pekerjaan. Hal ini bisa saja terjadi karena mungkin dia trauma sehingga akhirnya menjadi pesimis, atau memang dia tidak memiliki keyakinan yang besar akan diterima/ memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Hal lainnya bisa saja disebabkan dorongan dalam diri untuk beraktualisasi lebih baik tidak dimilikinya. Kadar mentalitas pejuang yang tangguh akan terbukti manakala persaingan yang terjadi begitu sengit, ujian yang dihadapi begitu sulit, halangan yang datang begitu bervariasi, namun semua itu ditaklukan dengan penuh totalitas, entah hasil akhir bicara lain dari keinginan, yang jelas inilah yang disebut takdir. Dan itupun jika kita menyadari takdir dari Allah swt kemudian kita ikhlas dan ridho maka yakinlah penggantinya yang lebih baik sudah menanti di akhirat kelak, dengan syarat luruskan dan perbaiki niat kita hanya segalanya untuk beribadah karena Allah swt. Oke, kebenaran hanya dariNya, marilah bantu diri kita menjadi orang yang memiliki totalitas dari awal menyusun, merencanakan target/ cita-cita ataupun tujuan hidup, hingga Allah swt dan Rasulnya beserta orang-orang mukmin yang melihat hasilnya.