Tak ada
yang perlu dikhawatirkan tentang kondisi negara saat ini. Toh masih baik-baik
saja, masih aman-aman saja. Banyak rakyat yang masih bisa makan. Di bulan puasa
ini rakyat bisa menghemat makan. Harga-harga masih terkondisikan di pasar. Tak
usah perlu was-was untuk hari esok, pergi kerja dapet uang ato tidak bahkan
punya kerjaan ataupun tidak.Yaps, beberapa orang temanku bilang begitu ketika
merespon hastag #2019GantiPresiden. Mungkin beliau-beliau ini perlu pencerahan
agar tahu kondisi nyata, apalagi untuk anak cucu generasi penerus nantinya.
Tiada
kekhawatiran memang bagus jika persepsi tersebut dimaknai sebagai sikap tawakal
kepada Tuhan yang Maha Kuasa setelah melakukan ikhtiar ini dan itu. Jika belum melakukan
apa-apa, apalagi menutup mata, telinga dan parahnya lagi menutup pikiran maka yang terjadi
adalah adanya informasi kurang berimbang karena telah menjadi korban media yang mencoba memberitakan (melakukan) pencitraan terhadap pemimpin saat ini. Hal demikian dikatakan terlalu menutup diri
karena tidak mau tahu dan membuka kesadaran diri bahwa sekarang ada sesuatu
yang tidak beres dengan dengan kondisi bangsa khususnya nahkoda yang memimpin.
Jelas-jelas sudah banyak janji yang tidak ditunaikan. Jangankan ketika menjadi
orang nomor 1, ketika menjadi walikota dan gubernur saja sudah melanggar
janjinya bahwa akan memimpin selama 5 tahun tidak meninggalkannya di tengah
jalan. Buktinya, belum sampe 5 tahun jadi walikota, ia berambisi jadi gubernur. Eh,
urusan di Jakarta belum beres 5 tahun, ia demi ambisinya sekaligus memanfaatkan
kepolosan dan kesederhanaannya (hasil pencitraan) maju ke pilpres. Dan ketahuan
deh, ternyata selama ini prestasi yang
kelihatan moncer tersebut bukan 100% kenyataan, hanya karena sudut kamera yang
sudah pas (bantuan media dan cukong aseng).
Intinya,
jangan percaya sama pemimpin yang suka ingkar janji alias pandai berbohong jika
tidak ingin urusan negara dan bangsa ini tambah amburadul. Kasihan generasi
pelanjut tongkat estafet bangsa akan diwarisi puluhan masalah-masalah yang
besar akibat salah urus negara di masa sekarang.
Ada cerita
terkait orang yang terlalu over self confidence dengan sebuah keadaan yang
sedang dialaminya. Cerita ini tentang orang yang bepergian melewati jalanan
yang rusak. Dikisahkan sekelompok remaja pergi touring menggunakan jeep
offroad. Yang memegang kemudi sebut saja namanya Bruce. Ia sangat yakin dengan
medan yang dilaluinya. Ketika 2 orang temannya mengingatkan bahwa perkampungan
selanjutnya masih jauh, si Bruce ini tetap gigih dengan keinginannya
melanjutkan perjalanan. Ketika baru saja keluar dari satu kampung yang
disinggahi di depan mereka terpampang jalanan yang berlubang dan kerikil yang
berserakan di badan jalan. Kondisi jalan yang tidak terlalu bagus. Karena kendaraan
yang digunakan jenis offroad maka tiada kekhawatiran bagi Bruce untuk terus
melaju. Dengan sesekali melihat peta, ia meyakinkan kepada temannya bahwa desa
selanjutnya hanya berjarak kurang lebih 20 mil jauhnya.
Mobil
tersebut melaju dengan kecepatan tinggi karena untuk menghemat waktu agar
segera sampai di desa berikutnya. Kondisi jalan yang semakin jelek, lubang yang
banyak menganga dan kerikil yang juga bertebaran membuat mobil terkadang
sedikit oleng ke kanan dan ke kiri. Temannya di belakang semakin khawatir
kalau-kalau mesin dan tangki oli maupun bahan bakar bocor terkena benturan batu sepanjang jalan yang berlubang.
Namun jawab Bruce apa? Tak perlu banyak kekhawatiran akan hal tersebut karena
ia sudah terampil untuk jenis jalan medan offroad seperti itu.
Mereka
sedikit lega karena jalanan berlubang dan berbatu sudah tidak ada, di depan
mereka hanya terdapat hamparan padang rumput dan semak belukar yang luas. Kendaraan terus melaju dengan kecepatan masih
tinggi, hingga tiba-tiba Bruce menghentikan kendaraan ketika di depannya
terdapat retakan yang membentuk kubangan yang cukup lebar dan dalam. Bruce
meminta temannya untuk mengecek kubangan tersebut, alih-alih dia hanya duduk di
dalam mobil sambil mengamati temannya tersebut. Laporannya ternyata kubangan
itu lebar sekitar 2 kaki atau kurang lebih hampir 1 meter dan kedalaman
mencapai 4 kaki (kira-ra 1,5 meter). Menyikapi laporan dari temannya, Bruce
langsung tancap gas. Ketika sudah masuk kubangan mobil berhenti manakala tanda
oli di meteran bahan bakar menunjukan kosong alias kehabisan. Jelaslah ada
kebocoran disana. Disitulah ending dari terlalu keras kepala, rasa khawatir
disini bukan dimaknai galau namun diartikan sebuah kewaspadaan dan
kehati-hatian agar tidak terlalu ugal-ugalan atau sembrono dalam mengemudi. Ditambah
lagi medan yang dilalui di kondisi jalanan yang tidak normal, penuh lubang dan
kerikil.
Cerita
ini mirip kenyataan kondisi jalan raya Bojong-Wiradesa yang jadi korban truk
besar pengangkut material dan tanah proyek jalan tol pantura. Kerusakan jalan
yang sudah cukup parah. Sudah banyak memakan korban jiwa hingga meninggal di tempat, baik karena
kecelakaan tunggal sebab jalan yang berlubang maupun serempetan bahkan tabrakan
karena sama-sama mencari jalur yang tidak rusak. Itulah proyek tol yang saat
ini kurang memperhatikan keberadaan jalan dan pengguna jalan raya di sekitar
proyek tol tersebut.
Ada makna
lain menurut subjektif penulis yaitu terkait pengemudi yang sembrono terlalu
meremehkan dan menggampangkan urusan, dengan slogan ora usah khawatir, tenang
saja kondisi masih aman terkendali, dsb. Pengemudi (sopir) di cerita Bruce ini
dianalogikan sebagai pemimpin yang ngakunya berprestasi dan capable dalam
memimpin (over), sehingga saran dari temannya tidak dihiraukan lagi. Dengan kondisi
jalan rusak ia tetap menggeber laju kendaraannya sekencang-kencangnya hingga
oleng. Untungnya tidak terbalik. Namun keteledorannya tersebut akhirnya dipetik
dengan bocornya tangki oli mesin karena benturan keras dengan batu. Begitupun pemimpin
yang kurang peka terhadap masalah rakyat dan negaranya saat ini. Kondisi utang
negara yang sangat besar, impor yang dilakukan yang tidak mempertimbangkan
rakyatnya sendiri, tenaga kerja asing yang membuat cemburu rakyatnya di saat
susah cari kerja dan penghasilan, kebijakan menaikkan BBM yang kurang memihak
rakyat kecil, listrik naik, dan belum lagi masalah penanganan hukum, penuntasan kasus
korupsi e-ktp, blbi, serta kebijakan dalam bidang ekonomi, rupiah melemah
terhadap dolar, dll. Justru ia sibuk membangun image positif dirinya sendiri
demi maju lagi di pilpres. Sebetulnya mudah saja agar rakyat simpati, tunaikan
seluruh janji-janji politiknya sewaktu kampanye mencalonkan dirinya pada pilpres
2014 yang lalu bukan dengan cara pembodohan publik ataupun pencitraan belaka.
Alih-alih terbuka terhadap kritikan dan masukan, eh malah memperalat Pancasila
dengan milik segolongan kelompok saja. Yang mengkritik dirinya dianggap anti
Pancasila. Padahal beberapa kasus terjadi justru partai dari pendukungnya
berlaku radikal dan anarkis terhadap salah seorang wartawan radar bogor ketika
terjadi penggerebekan di kantor media tersebut. Wis piye jal, yang pancasilais
malah sering berlaku mirip preman jalanan.
Artikel
cerita touring melewati jalanan rusak disadur dari text spoof berbahasa
Inggris, berikut teksnya:
The rough
road across the plain soon became so bad that we tried to get Bruce to drive
back to the village we had cme from. Even though the road was littered with
boulders and pitted with holes, Bruce was not in the least perturbed. Glancing at
his map, he informed us that the next village was a mere twenty miles away. It was
not that Bruce always underestimated the difficulties. He simply had no sense
danger at all. No matter the conditions were, he believed that a car should be
driven as fast as it could possibly go.
As we
bumped over the dusty track, we swerved to avoid large boulders. The wheels
scooped up the stones which hammered ominously under the car. We felt sure that
sooner or later a stone would rip a hole in our patrol tank or damage the
engine. Because of this, we kept looking back, wondering if we were leaving a
trail of oil and petrol behind us.
What a relief it was when
the boulders suddenly disappeared, giving way to a stretch of plain where the
only obstacles were clumps of bushes. But there was worse to come. Just ahead of us there was a
huge fissure. In response to renewed pleadings, Bruce stopped. Though we all
got out to examine the fissure, he remained in the car. We informed him that the
fissure extended for fifty yards and was two feet wide and four feet deep. Even
this had no effect. Bruce engaged low gear and drove at a terrifying speed,
keeping the front wheel astride the crack as he followed its zig-zag course. Before
we had time to worry about what might happen, we were back on the plain again. Bruce
consulted the map once more and told us
that the village was now only fifteen miles away. Our next obstacle was a
shallow pool of water about half a mile across. Bruce charged at it, but in the
middle, the car came to a grinding halt. A yellow light on the dashboard
flashed angrily and Bruce cheerfully announced that there was no oil in the engine!
Related Posts: