Alkisah di sebuah peternakan
milik seorang petani kaya raya, tersebutlah seekor tikus yang tinggal di
tengah-tengah hiruk pikuk hewan ternak milik pak tani. Suatu hari si tikus
melihat pak tani dan istrinya pulang dari pasar membeli sebuah jebakan tikus. Hal
ini membuat si tikus khawatir akan keselamatannya, sehingga ia pergi ke
teman-temannya untuk mengingatkan adanya bahaya tersebut. Mulailah dengan
bertemu si jago, si tikus menceritakan kronologi permasalahannya pada si jago. Dengan
iba ia sungguh tidak bisa berbuat apa-apa atas masalah yang dihadapi oleh si
tikus, ia jujur mengatakan bahwa masalah yang dimiliki tikus tidak membawa
dampak terhadapnya maka hanya belas kasihan saja yang dapat lakukan padanya. Si
tikus kemudian pergi ke tempat sahabat yang kedua yaitu kambing, ia pun sama
bahwasanya ikut bersimpati akan musibah dan masalah yang dialami oleh si tikus.
Namun ia tidak bisa membantu apapun hanya berdoa akan keselamatan si tikus
meski sedikit acuh karena memang itu masalah internal si tikus. Akhirnya dengan
lesu, si tikus tetap mencoba bantuan pada sahabat yang ketiga yaitu sapi, yang
terakhir ini justru jauh dari harapan. Sikap acuh yang ditunjukkan sapi
membuatnya tak berdaya, sapi berkata bahwa ia menyesal tidak bisa membantu
dengan permasalahan yang dialami tikus, lebih-lebih tidak ada sangkut pautnya
dengan dirinya, jebakan tikus hanya berbahaya bagi tikus bukan ancaman untuk
hidup si sapi.
Semakin gontai langkah si tikus,
ia pulang ke sarangnya yang masih di lingkungan rumah sekaligus peternakan
milik pak tani yang kaya tersebut. Kejadian mengejutkan terjadi pada malam
harinya. Suara deritan yang memecah kesunyian peternakan di malam hari membuat
pak tani dan istrinya terbangun. Suara tersebut bersumber dari jebakan tikus. Bergegaslah
istri pak tani untuk melihat perangkap tikus. Karena kondisi yang gelap, istri
pak tani tersebut tidak bisa melihat bahwa seekor ularlah yang terkena
perangkap tikus tersebut. Ular itu masih hidup hanya sebagian ekornya saja yang
terjepit perangkap tikus, ular yang berbisa tersebut mematuk kaki istri pak
tani. Karena gigitan yang beracun tersebut maka pak tani langsung membawa istrinya
ke rumahsakit terdekat. Setelah dirawat dari rumahsakit, istrinya masih demam
bahkan semakin memburuk. Untuk menambah asupan gizi hidangan, maka dibuatkanlah
sup ayam untuk istrinya. Ayam jago miliknya disembelih. Tetangga berdatangan
untuk menjenguk dan menghibur istrinya. Pak tani menyembelih beberapa kambing
miliknya untuk disajikan kepada para tetangganya yang terus berdatangan untuk
menemani sekaligus memotivasi. Hari berikutnya takdir berkata lain, istrinya
dipanggil oleh yang kuasa. Untuk prosesi pemakamannya ia melibatkan orang-orang
di kampung tersebut. Maka pak tani menyembelih sapi miliknya, sekali lagi untuk
hidangan para pelayat dan orang-orang yang datang untuk berbelasungkawa. Setelah
selesai pemakaman, pak tani barus sadar jika semua hewan ternaknya sudah habis
ia sembelih sejak kejadian perangkap tikus yang memakan korban seekor ular
berbisa yang akhirnya justru istrinya yang akhirnya meninggal. Hanya si
tikuslah, satu-satunya hewan yang selamat di lingkungan peternakan milik pak
tani. Sejak awal ia sudah khawatir, rasa khawatirnya menumbuhkan kewaspadaan
agar lebih hati-hati karena ancaman perangkap tikus. Ia tidak menganggap remeh
masalah yang ada, justru sikap bijaknya minta pertolongan sahabatnya sekaligus mencoba
mengingatkan akan marabahaya yang ada di peternakan. Namun apa reaksi dari
hewan-hewan ternak lainnya hanya bersimpati saja setelah itu acuh seakan
masalah perangkap tikus tidak berimbas pada nyawa mereka.
Begitulah kawan, jangan pernah
menganggap remeh sebuah permasalahan meskipun menurut kita masalah itu sangat
kecil bahkan tidak ada kaitannya dengan kita. Ibaratnya Pak Tani yang kaya raya habis hewan ternaknya dipotong & disembelih, jangan sampai Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambangnya, lautannya, subur tanahnya, rakyatnya mati kelaparan, kekayaan Indonesia hanya dihabiskan oleh pihak asing sedangkan rakyatnya jadi kuli di negeri sendiri. Sungguh tragis dan memprihatinkan. Mulai belajar akan kepedulian
terhadap lingkungan sekitar, cobalah ikut mengatasi masalah saudara kita,
memberi solusi kepada orang yang datang meminta bantuan meskipun hal tersebut
tidak ada sangkut pautnya terhadap kita. Meskipun bantuan yang kita berikan itu
kecil, bisa jadi bagi orang yang membutuhkan itu akan sangat bermakna. Jangan tutup
rasa peka kita, asahlah sensitifitas dalam masalah sosial yang ada di negeri ini.
Lebih-lebih masalah yang terjadi adalah menyangkut masa depan negera, bangsa,
generasi penerus dari bangsa Indonesia.
Jangan menutup mata terhadap
permasalahan-permasalahan yang terjadi saat ini. Masalah pengangguran,
sempitnya lapangan pekerjaan, kelaparan yang dialami anak bangsa di papua,
melonjaknya tarif listrik, bbm yang secara sembunyi-sembunyi dinaikkan, krisis
dalam penegakkan hukum, utang luar negeri Indonesia yang semakin menggunung,
koruptor cina yang menggondol uang hampir 35 triliun, aset bangsa yang digadaikan,
sumber daya dan kekayaan alam tanah air yang tidak diperuntukkan untuk
kesejahteraan rakyat, pemimpin yang tidak kapabel, banyak ulama yang
dikriminalisasi. Dan masih banyak lagi masalah yang dihadapi negeri ini. Memang
masalah tersebut beberapa diantaranya sudah lama terjadi bukan hanya di era
pemimpin 2014 saja, namun janji-janji kampanyenya yang terlalu muluk dan tak
satupun hingga februari 2018 mampu direalisasikan bahkan kayaknya semakin
terbukti bahwa ada indikasi terjadi kecurangan di pilpres 2014 kemarin. Pemimpin
yang lahir di tahun 2014 belum memberikan sumbangsih nyata terhadap kemajuan
bangsa, kesejahteraan rakyat, hingga penegakkan keadilan dalam masalah hukum.
Nurani para pejabat yang seakan
tertutup melihat masalah-masalah besar yang saat ini tidak bisa diselesaikan
oleh pemimpin sekarang. Seharusnya presiden dengan segala kewenangan dan
fasilitas jabatannya tersebut digunakan untuk kemajuan negeri, catat bukan
sekedar pencitraan semata agar rakyat iba dan memilihnya kembali di 2019. Jika permasalahan
bangsa di tahun 2018 tidak ditangani secara bijak, jangan harap rakyat masih
percaya di pilpres 2019.
Menjadi rakyat jangan acuh
terhadap kondisi negeri saat ini, orang muslim jangan acuh dan alergi terhadap
politik. Cobalah berkiprah dengan Islam menjadi landasan. Islam itu sempurna
meliputi segala aspek kehidupan, aspek manakah yang tidak tersentuh dalam
Islam. So, kalo ada pihak yang mencoba memisahkan politik dan Islam, itu
hanyalah akal-akalan mereka saja yang tidak senang melihat umat Islam memimpin
negeri ini, tidak rela Islam menjadi rahmat bagi semesta alam. Jangan meragukan
Islam menjadi sandaran dalam berbagai bidang kehidupan. Bahkan perbuatan
korupsi saja itu dilarang dalam Islam, karena korupsi sangat merugikan rakyat meskipun tidak ada ayat khusus tentang korupsi dalam Al Quran. Sama halnya dengan hukum haramnya rokok, karena rokok
tidak membawa manfaat apapun sebaliknya sangat membahayakan bagi kesehatan
tubuh.
Hati-hati pula dengan beberapa
pejabat yang mendadak alim, belajarlah dari pengalaman 2014. Tahun 2018 adalah
bukti kinerja mereka, gimana tambah maju, tambah sejahtera atau sebaliknya? Terbukti
kan tahun 2014 hanya pencitraan semata, aslinya incapable leader!
Awan Mendung Berganti Hujan, Langit Cerah di Tahun 2019
Rasa skeptis, acuh, dan alergi itu harus dihilangkan. Contoh DKI Jakarta adalah sebuah gambaran kecil bagaimana beruntungnya memiliki pemimpin yang cinta terhadap rakyatnya, membela hak-hak rakyat kecil, mengedepankan kerja dengan manajemen matang, dengan blueprint yang jelas, bahkan integritas yang tidak diragukan lagi. Jangan sampai anggapan bahwa saat ini negara Indonesia dalam keadaan aman-aman saja tidak punya masalah hanya karena media mainstream memihak pemerintah. Belajarlah membuka diri, perbaiki pola pikir, dan tentunya peduli dengan bangsa. Bukan politik pencitraan, kerja tanpa mikir, membuat aturan yang terkadang melanggar aturan yang sudah ada, diubah seenaknya demi menguntungkan pribadi semata. Lha ini presiden Indonesia atau petugas partai tertentu saja. Makmurkan, sejahterakan, bersikap adil kepada seluruh elemen rakyat, bangsa, tidak hanya untuk kandang miliknya sendiri saja. Orang yang baik pilihlah pemimpin yang baik, tahun 2014, 2015, 2016, 2017, dan 2018 masak iya gak bisa melihat siapa sebenarnya pemimpin sekarang? Berarti penggemar fanatik buta jika masih belum sadar. Ini demi generasi masa depan, anak cucu yang akan mewarisi negeri ini. Jangan tinggalkan dan warisi anak cucu dengan masalah besar dan hutang-hutang yang besar, meninggalkan kondisi negara yang kacau. Langit cerah di pilpres 2019, dengan pemimpin fresh, bukan cetakan 2014, lagian 2014 sudah out of date, juragan sekarang terbukti membawa "perubahan" tapi ke arah yang lebih buruk bukan sebaliknya berubah kearah kemajuan bangsa. Ayo ingatkan teman, sodara, handai taulan, agar memilih pemimpin muslim cerdas yang benar-benar cinta rakyat, mau dan mampu membawa Indonesia menjadi macan asia lagi.
Narasi Negeri Peternakan
Kisah fabel yang bersumber dari bahan bacaan kelas IX mapel bahasa Inggris, berikut naskah aslinya;
Once upon a time a mouse saw the
farmer and his wife buying a mousetrap. The mouse it to his friends. The rooster
said that it was a grave concern to the mouse, but it was no consequence to
him. The sheep sympathized, but said that there was nothing he could do except
praying for the mouse safety. The cow said that he was sorry for the mouse, but
it was the mouse’s problem, not him.
So, the mouse returned to the
house, head down and rejected, to face the mousetrap alone. That night a sound
of a mousetrap catching its prey was heard throughout the house. The farmer’s
wife rushed to see what was caught. In the darkness, she did not see it was a
venomous snake whose tail the trap had caught. The snake bit the farmer’s wife.
The farmer rushed her to the hospital and she returned home with a faver.
The farmer slaughtered the
rooster to make soup for treating her fever. But his wife’s sickness continued,
so friends and neighbors came to sit with her around the clock. To feed them,
the farmer butchered the sheep. The next day the farmer’s wife dead. So many
people came for her funeral, the farmer slaughtered the cow to provide enough
meat for them.
Related Posts: