Showing posts with label cerita hikmah. Show all posts
Showing posts with label cerita hikmah. Show all posts

Sunday, April 8, 2018

Little Molly, Home Sweet Home

Sebuah kisah dari si kecil Molly yang tinggal  di sebuah kota kecil. Rumah yang di huni Molly terletak di pinggir sungai yang indah. Rumah mungil, sederhana namun cukup indah. Molly adalah anak putri satu-satunya dalam keluarga, orangtuanya tidak kaya, namun mereka hidup bahagia dan berkecukupan.
Si Molly ini semakin beranjak usianya, ternyata tidak begitu menyukai rumahnya yang kecil. Dan kalo diperhatikan dengan seksama ternyata rumahnya juga tidak begitu rapi, sehingga dalam dirinya ada perasaan kecewa dan kurang puas. Ia menyukai rumah yang jendelanya bersinar, berkilau bagaikan emas, yang terletak di puncak sebuah gunung. Ia sungguh tertarik dengan rumah tersebut. Rumah yang ia lihat itu menjadi rumah impiannya.
Semakin dia mencintai rumah dengan jendela emas yang berkilauan di puncak gunung, ia juga semakin membenci rumahnya sendiri. Walaupun demikian, rasa bencinya tidak ia ungkapkan kepada ayah ibunya. Ia hanya memendam rasa kecewanya di dalam hati. Ia memahami kondisi ekonomi keluarganya, sehingga ia tidak ingin menambah beban kedua orangtuanya untuk membuatkan dirinya rumah yang bagus nan berkilau. Di lubuk hatinya yang dalam, hasrat untuk memiliki rumah seperti yang dilihatnya masih membara, terus bergejolak.
Waktu terus berjalan, tahun berganti, Molly semakin tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan anggun. Di usianya yang ke-12 tahun, ia semakin berhasrat memiliki rumah dengan jendela emas yang berkilau, tidak seperti rumahnya yang jendelanya terbuat dari kayu dan sudah cukup lapuk. Ia semakin tumbuh dewasa, hingga ibunya suatu hari membolehkan Molly pergi jalan-jalan keluar rumah cukup jauh yakni untuk mendaki puncak gunung yang disana terdapat Rumah Jendela Emas. Ia mulai menyiapkan bekal perjalanan. Ia mendaki sampai ke puncak dengan usaha yang gigih dan mengeluarkan banyak tenaga. Ia gembira mampu sampai di puncak. Ia langsung bergegas menuju rumah yang dilihatnya sangat bagus itu. Semakin mendekat dengan rumah yang dimaksud, ia seakan tidak percaya dan sungguh kaget. Ternyata bangunan tersebut hanyalah bekas istana kuno yang tinggal puing-puing yang berserakan, sampah dan debu menghiasi istana yang lebih mirip rumah hantu tersebut. Bangunan kuno dan dindingnya berlumut, membuat kesan jorok. Ternyata yang selama ini ia lihat dari kejauhan hanyalah bangunan yang lebih jelek daripada rumahnya sendiri. Jendela yang berkilau seperti emas ternyata hanya pantulan sinar matahari yang mengenai kubangan air dekat puing rumah tersebut.
Molly menghela nafas, menghirup nafas panjang, ia lagi-lagi menemui kekecewaan. Kini ia melihat ke bawah persis dimana rumahnya berada. Disana terlihat sebuah rumah mungil yang asri, indah, jendelanya lebih bersinar terang, kuning keemasan. Itulah rumahnya yang selama ia benci. Rumah idaman dengan jendela emas yang berkilau ternyata sudah ia tinggali lama, dan rumah itu tidak lain adalah rumahnya sendiri.
Mampu Mensyukuri Yang Dimilikinya
Impian Molly memiliki rumah impian dengan segala kriteria pribadinya ternyata telah mengantarkan ia agar lebih belajar mensyukuri segala sesuatu yang ia miliki, bukan mengeluhkan sesuatu yang belum dimiliki. Belajar untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda, hal tersebut sesekali diperlukan. Sudut pandang yang keliru membuat jalan yang ditempuh juga keliru. Kesalahan akan berulang manakala ketika kita tersadar, kita tidak mampu membaca pintu hidayah yang sudah terbuka. Apa yang kita dambakan, impikan, cita-citakan ternyata sudah ada dalam diri kita sendiri. Contohnya saja Molly mendambakan istana (rumah) versi miliknya, dimana ia sendiri sejak lama tinggal di dalam rumah tersebut. Ide untuk mendaki gunung bukan ide yang buruk. Justru ia menjadi kenal lebih dekat dan mengetahui realita sesungguhnya. Tidak seindah yang ia bayangkan, tidak semegah yang ia pikirkan. Hanyalah bangunan tua, karena pantulan sinar matahari sajalah sehingga terlihat begitu istimewa.
Kedekatan Jiwa Dengan Sang Pencipta
Budak materialisme akan menuhankan kekayaan dan kemegahan serta harta duniawi dengan melupakan sisi moral, norma dan aturan agama. Unsur penghambaan yang overdosis telah menggejala di zaman penuh pragmatisme, serba instan, hedonis dan penuh tipu daya. Banyak orang sudah tidak lagi memegang nilai-nilai kejujuran, menjunjung nilai keadilan dan aturan hukum. Ia berani melanggar dan menabrak semua rambu-rambu tersebut, yang terpenting harta banyak, berkecukupan dan serba mewah tanpa peduli dengan sesama. Ia bahkan berani menggunakan jabatannya untuk menggencet dan menindas yang di bawah. Demi ambisinya akan penguasaan materi dunia.  Sungguh nyata, banyak orang cinta dunia yang telah melalaikan kampung akhirat. Kilauan dan gemerlap hingar bingar pesona dunia telah membutakan mata batin dan mengeraskan hatinya. Ia menjadi pribadi yang sudah tidak takut akan balasan, dosa, dan azab. Tidak mengenal rasa tanggungjawab apalagi bertingkah laku yang cermat dan amanah. Mudah tersinggung apabila ada yang mengingatkan, merasa dirinya paling berjasa atas keberhasilan hidupnya, melupakan peran Sang Pencipta.
Hamba dunia ini bukanlah bualan atau isapan jempol, atau omong kosong, sekarang ini sudah banyak merasuk dalam dada setiap manusia tanpa terkecuali seorang muslim. Tipuan dunia sungguh menyilaukan sehingga kita tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang keliru.
Kedekatan jiwa dengan sang khaliq dibutuhkan agar jiwa ini tidak terasa kering, kosong, sepi di tengah hingar bingar dunia. Materialisme semu, harta dunia yang sekedar fatamorgana, ambisi yang keliru maka semuanya itu harus diluruskan, benahi sudut pandang akan makna dari hidupnya kita di dunia. Eksisnya di dunia tidak selama dengan eksisnya manusia di akhirat. Kehidupan yang cuma beberapa tahun tidak ada artinya dengan akhirat yang tanpa batas. Sudahkah kita membenahi ambisi duniawi kita? Jangan terlalu jauh menyimpang, sangat berat sekali untuk kembali ke rel yang benar. Hanya pada Tuhan sajalah kita mengharap bimbinganNya agar kita menapaki jalur yang benar. Berdoa agar tetap digolongkan menjadi golongan orang-orang yang taqwa, menjadi hamba Nya yang berada dalam naungan rahmat serta hidayah Nya.
Cobalah tengok dari 24 jam sehari, lebih banyak untuk dunia atau kita abdikan pada Allah swt? Bisa jadi waktu hidup sehari selama 24 jam, tidak lebih dari setengahnya kita gunakan untuk hal yang sia-sia, belum lagi menit-menit yang berlalu untuk hal-hal maksiat dan dosa. Berapa kali beristighfar yang sudah kita ucapkan secara lisan manakala kita lalai ataupun bermaksiat? Berapa sering kita meminta ini itu, berdoa untuk hal yang sifatnya pribadi dan duniawi, namun jarang bibir ini beristighfar memohon ampunannya. Jangankan istighfar, bersyukur saja belum terbiasa kita lakukan.
Ayolah kawan semua, semakin canggih teknologi jangan sampai membuat diri ini lalai dengan persiapan kematian dan persiapan kehidupan setelah mati. Yang kita cari sebetulnya sudah ada dalam diri kita masing-masing. Ketenangan batin, ketentraman jiwa, kepuasan hati akan tercapai manakala mampu memaknai tiap menit yang kita miliki untuk hal yang positif. Beralihlah dari aktivitas dunia ansich menjadi aktivitas dunia yang bernilai akhirat. Sebagai manusia yang beragama maka ajaran agama yang harus dijadikan pedoman hidup. Iman itu perlu dipupuk dan dirawat agar tidak layu dan mati. Hati ini harus sering diberi nutrisi agar tidak tumpul dan keras. Menjadi manusia yang komitmen dalam agamanya butuh pembuktian. Hal itu antara lain adalah ujian hidup dengan bentuknya yang beragam. Semoga kita menjadi manusia yang memiliki energi positif dan mampu menularkan aura positif kepada orang lain. Salah satu jalan hidup pilihan generasi nabi dan sahabat adalah jalan dakwah, menyeru kepada kebaikan, menegakkan dan memperjuangkan syariat, serta menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Memiliki cita-cita mendapat rumah di surga dengan ridho Nya. Selagi kita masih bernafas, maka kesempatan masih terbuka lebar untuk menjadikan dunia ini sebagai ladang amal.
Molly and Golden Windows
Little Molly lived in a small beautiful town. Her tiny house was constructed on the banks of a beautiful river, near a mountain. She was the only daughter for her parents. Although they weren't very rich, they lived happily.
Molly did not like her house very much. She felt that the house was too small and not very neat. She liked the house on top of the mountain because of the glittering golden windows. The windows sparkled and glazed so beautifully that little Molly completely mesmerized. She went crazy for that the glittering golden windows and started to hate her home more. However, little Molly was so sweet and she understood the struggles her family was undergoing.
Years passed by and she grew up quickly. She became 12 years and looked very beautiful like a golden princess. She believed that she was supposed to live in a house with golden windows, not in an old wooden house.
As she grew older, her mom allowed her to move around her house. It was a holiday and she decided to climb the mountain and peek into the house with the golden windows. With so many struggles, she reached the top of the mountain.
She stood in front of the house and saw the dirtiest house, in fact the damaged castle with dark windows. The golden windows she saw were in fact the reflection of the dark and dirty windows. Suddenly, she looked at her home. A window in hers was shining like gold. She realized that the sun rays reflected in the water made the window glow. The truth was she lived in her dream home, the home with beautiful golden windows.
Questions
1. What was the main problem of the story?
A. Molly had an unhappy family living in a small house.
B. Molly's parents forbade her from going far from their house.
C. Molly wanted to stay in a big house with golden windows.
D. The large haouse on the top of the mountain was very dirty.
E. Molly failed to reach her dream house on the top of the mountain.

2. How did Molly feel on her arrival at the top of the mountain?
A. Queer
B. Afraid
C. Worried
D. Shocked
E. Pleased

3. What would happen if Molly never visited her dream house on the top of mountain?
A. She would know that house became dirty.
B. She would still dream to have that house.
C. She would leave her small house to live in that house.
D. She would look for another house with golden windows.
E. She would realize that her house was better than that house.

4. What can we learn from the story?
A. We should appreciate others.
B. We should be brave to face challenging.
C. We should be grateful for what we have.
D. We should work hard to achieve success.
E. We should be honest to the others.

Related Posts:

Saturday, December 9, 2017

Pada Akhirnya Engkau Kembali

Suatu hari raja melewati gubuk milik seorang pengemis dimana si pengemis itu terlihat senang dengan kedatangannya. Bukan senang karena yang datang adalah seorang raja melainkan kegembiraannya dikarenakan oleh hiasan, pakaian dan uang yang banyak yang raja miliki.
Si pengemis dengan mengharap kedermawanan dari raja, ia menyodorkan mangkuk kosong dengan maksud diberikan sodaqoh beras yang cukup buat makan untuk dirinya. Si pengemis berlari ke arah raja sambil lantang mengucapkan pujian kepada raja dan keluarganya.
Raja mendekat dan bertanya padanya, “ Siapakah engkau gerangan laki-laki tua?
“Saya adalah kaum jelata yang kurang beruntung nasibnya, kemiskinan dan kelaparan menjadi sahabat sehari-harinya. Bahkan saya belum makan sejak emarin siang.”
“Hei, kamu tidak mendapatkan apa2 dariku selain ejekan atas penderitaanmu,” kata raja.
“Berikan sesuatu untukku dari yang yang kau punya!” sambil mengarahkan tangannya kepada pengemis yang malang tersebut.
Si pengemis kaget bercampur heran, secara perlahan dan penuh hati-hati ia mengambil 5 butir beras dari mangkuknya dan kemudian meletakkannya di telapak tangan sang raja.
Raja langsung  pergi meninggalkan pengemis sendirian. Merasa dibohongi dan dikecewakan oleh raja, ia marah-marah dan memaki-maki serta mengumpat diiringi sumpah serapah sepanjang jalan menuju rumah.
Singkat cerita, setibanya di gubuknya,  tampak sekarung penuh berisi beras berada di di depan pintu. Ia berpikir bahwa telah ada orang yang berhati mulia yang memberinya sekarung beras. Lebih tersentak lagi, manakala ia menemukan sebatang emas di dalam karung tersebut. Dengan gugup namun pasti, ia menumpahkan beras ke lantai tanah dengan tujuan mengosongkan karung, dia meyakini masih ada batang emas lainnya. Ternyata dugaan si pengemis ittu benar, dia menemukan 5 batang emas. Yaps, 5 batang emas sebagai ganti rugi dari 5 butir beras yang diberikan kepada raja. Pesan moral cerita ini adalah apa yang sejatinya kita lakukan dengan hati pasrah, ikhlas penuh ketulusan jika itu benar maka imbalan dan keuntungan yang tidak disangjka-sangka akan menghampiri kita. Berperilaku kepada siapapun layaknya bertindak seperti menyayangi diri sendiri tanpa melihat pangkat, kedudukan, golongan maupun jabatan. Karena sesungguhnya kebaikan tetaplah kebaikan, meski itu kepada orang yang kita benci dan kebaikan tetap dihargai sebagai kebaikan yang pada akhirnya akan kembali pada diri kita sendiri.
The Miserly Beggar
The king was to pass by a beggar’s hut and the man was beside himself with excitement, not because he was about to see the king but because the king was known to part with esxpensive jewels and huge sums of money when moved by compassion.
He saw the king’s chariot  just as a kindly man was filling his begging bowl with uncooked rice. Pushing the man aside, he ran into the street, shouting praises of the king and the royal family.
The chariot stopped and king beckoned to the beggar.
“Who are you?” he asked.
“One of the most unfortunate of your subjects,” said the beggar. “Poverty sits on my doorstep and follows me about like a dog. I haven’t eaten since yesterday afternoon!”
“Have you got nothing for your king, except a tale of woe?” said the ruler, putting out his hand. “Give something.”
The miserly beggar, astonished, carefully picked up 5 grains of rice from his bowl and laid them on the king’s outstretched palm.
The king drove away. The beggar’s disappointment was great. He raved and ranted, and cursed the king again and again for his miserliness finally, his anger spent, he went on his rounds.
When he returned home in the evening, he found a bag of rice on the floor.
“Some generous soul has been here, he thought and took out a handful of rice from the bag. To his astonshment there was a small piece of gold in it. He realized then that the bag had been sent by the king. He emptied the rice on the floor, feeling sure there would be more gold pieces in it, and he was right. He found 5, one for each grain of rice he had given the king.