Showing posts with label indolent farmer. Show all posts
Showing posts with label indolent farmer. Show all posts

Thursday, January 18, 2018

Indolent Farmer, Petani Bekerjalah Dengan Giat, Jangan Bermalas-malasan

Hujan deras akhir-akhir ini membuat sawah dan ladang terbasahi dengan cukup air yang melimpah. Musim tanam sudah berlalu, saatnya menjelang musim panen padi, sekitar bulan Februari depan. Petani berbahagia dengan akan datangnya musim panen, proses pengolahan tanah, penanaman benih hingga perawatan, sampai pemupukan dilakukan dengan pengorbanan biaya, waktu dan tenaga. Terkadang biaya yang sudah dikeluarkan hampir-hampir sama dengan pendapatan dari hasil panen, malahan terkadang defisit. Lumbung pangan sebetulnya julukan yang sangat layak disandang oleh negeri kita, pernah swasembada pangan entah itu kapan bisa dilakukan pemerintah lagi. Presiden yang sekarang menjabat saja mengingkari janji kampanyenya bahwa tidak akan mengimpor beras dengan mempertimbangkan nasib petani. Isu yang cukup hot pekan lalu adalah impor beras. Isu tersebut cukup mengganggu petani jelang musim panen.
Ada hal yang harus diupayakan bukan sekedar janji apalagi membual, berbohong, atau memang tidak memiliki kapasitas sebagai pemimpin yang handal sehingga mengatur bawahannya enggak becus, menteri bertindak sendiri tanpa komunikasi yang baik dengan atasannya. Hal ini jangan melulu salah menteri, tapi kenapa si bos bisa gagal kontrol, ada yang kurang beres sejak awal. Sebelum jadi pemimpin, katanya tidak bagi-bagi kursi menteri atau jabatan strategis lainnya. Fakta dari 2014 hingga awal tahun 2018, masyarakat bisa melihat sendiri si pemimpin dusta atau amanah? Jawabannya pasti sudah tahu ya. 
Petani jangan malas, karena sudah giat bekerja saja belum bisa makmur apalagi malas. Inilah mungkin yang akhirnya membuat keputusan bagi sebagian besar petani di pelosok desa mengganti padi dengan tanaman lain yang lebih laku dijual dan mendatangkan duit lebih banyak dibanding padi. Contohnya yaitu ditanami kayu sengon. Beberapa petani sudah merasakan keberhasilan menanam kayu sengon dengan untung yang besar. Maka hal ini menjadi favorit, padi telah dikonversi oleh petani secara subjektif pribadi mereka sendiri, diganti dengan tanaman kayu sengon. Ada sisi baiknya petani jadi kaya, negatifnya adalah dikhawatirkan beberapa tahun kedepan pemerintah akan lebih rajin lagi impor beras.
Impor beras disaat petani hendak panen bisa menurunkan harga beras yang dijual oleh petani, di pihak lain penentuan kewenangan beras masih dipegang oleh BULOG. Gampang saja bagi pemerintah untuk memakmurkan petani padi sebetulnya, mereka memiliki kebijakan, kewenangan, kekuatan dengan berbagai alat peraturan perundangan yang dibuat agar petani negeri ini memiliki peluang sejahtera. Musim yang cocok untuk bertanam dan berladang, dikombinasikan dengan teknologi sehingga pas jika ada harapan bangsa ini unggul dalam bidang pangan. Namun nyatanya sekarang masih berupa mimpi, ada yang sulit makan, petaninya menjual beras juga belum mendapat bayaran layak, impor yang tidak tepat waktunya. Apakah ada daerah yang masih surplus beras? Ya tetap ada, Indonesia kan dari Sabang sampai Merauke, masing-masing pulau memiliki keunggulannya sendiri, dan pastilah banyak yang unggul di bidang pertanian. Ini yang harus didukung pemerintah dengan kebijakan yang pro petani, harusnya juga pro nelayan, pro buruh, dan mereka semua rakyat Indonesia. So, presiden itu pro wong cilik bukan antek cukong asing.
Inti dari hidup pada dasarnya adalah makan. Karena untuk bisa hidup, bergerak, bekerja, semuanya itu butuh tenaga, tenaga dihasilkan dari makanan yang dikonsumsi, sehingga singkatnya hidup itu membutuhkan makan. Nah, jika pemerintah enggak bisa menjamin urusan perut warganya maka sangat pantas diganti yang baru, tahun 2019 jangan bercokol jadi pemimpin lagi harus diganti yang baru, yang lebih mampu, lebih berkapasitas menjadi presiden.
Petani yang sudah bergelut dengan lumpur, ketika bekerja terkadang bersahabat dengan teriknya matahari, dibiarkan kulitnya gosong terpanggang. Banyak orang sukses di Indonesia yang orangtuanya juga petani. Namun mereka (anaknya) itu jarang yang mau meneruskan warisan menjadi petani. Kalo begitu nanti siapa yang akan menyediakan kebutuhan pangan jika semuanya ogah menjadi petani. Sarjana pertanian yang baru lulus secara ilmu hebat, namun kalah jauh untuk hal pengalaman dari petani di desa karena mereka sudah bertahun-tahun mencurahkan energi dan hidupnya di pertanian, di sawah, di ladang, dan di kebun. Mereka lebih paham kondisi lapangan, namun tetap butuh sentuhan ilmu dan teknologi baru agar hasil panennya benar-benar optimal.
Cerita Petani Yang Malas
Ketrampilan bertani tidak hanya masalah bergelut dengan lumpur sawah, tapi metode dan manajemen pengolahan lahan juga berpengaruh. Pendirian koperasi sesama petani juga bisa membantu meningkatkan kesejahteran, diskusi mencari, membuat, dan meracik pupuk kompos, pupuk ramah lingkungan, ataupun pupuk alternatif yang akan mengatasi masalah mahalnya harga pupuk yang dijual di pasaran.
Menumbuhkan semangat kerja keras dan giat sepertinya sudah banyak dilakukan oleh para petani. Bagaimana tidak giat bekerja, mereka harus berangkat pagi untuk mengecek sistem pengairan lebih  awal agar selanjutnya melakukan pekerjaan pertanian lainnya. Harus menjaga tanamannya dari serangan hama, wereng, belalang, terkadang babi hutan (sawah di desa), tikus, dan penyakit tanaman padi lainnya.
Tapi ada suatu cerita tentang petani yang malas, ini bukan petani dari negara kita tentunya karena petani kita adalah petani yang rajin. Diceritakan seorang petani melakukan perjalanan dengan gerobaknya yang berisi jerami dan beberapa hasil ladangnya. Gerobak atau pedatinya tersebut ditarik oleh seekor kuda, ia sendiri duduk diatas gerobaknya. Ia hendak pergi menuju pasar menjual barang bawaannya. Sayangnya jalan yang dilewati tidak begitu mulus, banyak lubang sepanjang jalan, lumpur karena semalam turun hujan juga membuat jalanan bertambah sulit. Tidak sengaja gerobaknya melaju pada sisi jalan yang kurang rata, lalu salah satu rodanya terjebak masuk kedalam lubang yang cukup dalam dan otomatis gerobaknya berhenti. Barang bawaan yang penuh, jalanan becek, maka ia memutuskan menunggu ada yang membantu dirinya. Ia tidak henti-hentinya mengumpat, terlihat jelas rasa kesal, marah dan jengkel atas kejadian yang menimpa dirinya itu. Cukup lama ia berdiam diri tanpa melakukan apapun, kecuali satu hal yaitu masih mengomel dan bergumam sendiri untuk meluapkan amarahnya. Energinya terbuang untuk melampiaskan kejengkelannya. Sampai suatu saat ada seorang pejalan kaki lewat, si petani merasa senang dengan harapan orang itu memberikan solusi berupa membantunya untuk mengatasi gerobaknya yang terjebak oleh lubang. Bukannya bantuan yang datang, orang itu datang menghampiri bukan membantu namun memberinya nasehat dan sindiran. Dia berkata apakah roda gerobak yang terjebak lubang bisa keluar sendiri, kemudian berjalan tanpa ada usaha? Jangan berharap kepada orang lain jika dirimu (si petani) saja tidak mau turun tangan. Tidak ada orang yang bisa menyelesaikan masalah kamu (si petani) selain kamu berhenti mengomel dan mendorong sendiri gerobakmu agar keluar dari lubang. Apa yang telah kamu lakukan cuma membuang-buang waktumu, menunda waktumu, mengomel itu tidak menyelesaikan masalah. Mulailah bangun, turun dari gerobak dan keluarkan tenagamu untuk menggeser roda gerobak, kamu akan tahu jawaban dari permasalahanmu setelah berusaha dan bertindak, bukan menunggu belas kasihan orang lain.
Dalam cerita tersebut, si petani malu dan sadar diri. Nasihat pejalan kaki yang menghampiri dirinya sangat menusuk, namun tusukan omongan awalnya sakit selanjutnya kebenaran nasihat dari pejalan kaki harus dibuktikan dengan ia mencari solusi sendiri. Malu sungguh malu, namun rasa malu hanya sebentar dibandingkan waktu lama untuk mengomel. Ia berterimakasih atas nasihat sekaligus sindiran yang keras tadi. Dengan itulah ia bisa menatap jalan didepannya dengan antusias. Jalan yang ia lewati tidak berubah, masih berlubang dan berlumpur hanya saja cara pandangnya, pola pikir yang benar yang membuatnya lebih semangat hingga ke tempat yang ia tuju. Ia sadar bahwa masalah yang ada tidak berubah selama ia sekedar tinggal diam. Dialah sendiri yang mencari solusi, menolong dirinya sendiri keluar dari permasalahan yang ada. Rasa malas yang sebelumnya hinggap dalam dirinya berubah menjadi kobaran semangat dengan masukan saran yang diterima dengan penuh kesadaran. Raihlan tujuan yang dimiliki dengan menggunakan kedua tangan yang ada, genggam tujuan tersebut dengan erat dan sekuat mungkin, wujudkan cita-cita tersebut apapun kondisinya.
Lihat jalan yang membentang di depan kita, tentu masih panjang bukan? Adakah yang tahu masalah apa yang akan muncul? Ataukah ujian apa yang akan datang, rintangan apa yang akan menjadi batu sandungan?Tentu tidak sepenuhnya tahu, hanya memprediksi. Apapun bentuk masalahnya tidak terlalu penting, karena yang terpenting cara mengatasinya. Hal yang harus disiapkan adalah keyakinan dan keberanian kita dalam menghadapi masalah. Masalah itu sebuah keniscayaan, solusi adalah ikhtiar pribadi yang harus dilakukan.
Sikap giat itu berlaku untuk manusia yang masih bernafas tidak memandang status pekerjaan entah mau bekerja sebagai petani, nelayan, buruh, bahkan untuk seorang pelajar sikap giat adalah bekal utama dalam menuntut ilmu. Ilmu tidak menghampiri kita, namun kitalah yang harus mendatangi bahkan mencari. Itulah yang dilakukan petani, mereka paham yang dilakukannya adalah bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kesejahteraan keluarganya. Jika keluarga-keluarga meraih kemakmuran maka tentunya cita-cita masyarakat sejahtera tercapai, yaitu terwujudnya bangsa yang hidup layak, sentosa dan berkecukupan.
Jika rakyat negeri ini punya cita-cita hidup layak, maka lakukan perubahan dalam memilih pemimpin, jangan gadaikan masa depan negeri ini dengan sogokan 50rb atau berapapun jumlah nominalnya, karena di negera demokrasi suara terbanyaklah yang mengantarkan seseorang menjadi presiden. Semoga rakyat negeri ini sholeh sehingga pemimpin yang terpilih itu amanah, karena orang sholeh itu cenderung amanah. Rakyatnya cerdas maka pemimpin yang terpilih memiliki kualitas dan kapasitas. Semoga tidak terulang kesalahan di tahun 2014, hendaknya rakyat sadar diri bahwa salah pilih akan berdampak sangat buruk dan serius untuk waktu selama 5 tahun. Jangan melakukan kesalahan dua kali, saya, kamu, dia, mereka, kita bisa merubah kemana arah bangsa ini 5 tahun kedepan dengan menggunakan hak pilih dalam sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia, ikut milih itu hak sekaligus kewajiban, alasan dan pertimbangan dalam memilih itulah yang menentukan kualitas rakyat sekaligus pemimpin. Sangat bagus jika pertimbangan yang digunakan mengacu pada anjuran syariat yaitu jangan memilih dan mengangkat pemimpin non muslim sebagai pemimpin diri kita (jika muslim, kalo bukan ya pertimbangannya terserah). Selamat menciptakan dunia baru dan masa depan yang lebih makmur sentosa.
Story telling: the Indolent Farmer
It rained heavily the whole night. The roads were  muddy and potholes were filled to the brim. It was the day for the market to open, and a farmer was riding his cart along the country road. He had to reach the market early, so he could sell his hay. It was very difficult for the horses to drag the load through the deep mud. On his journey the wheels of his cart suddenly sank into the mire. 
The farmer climbed down from his seat and stood beside his cart. He searched all around, but could not find anyone around to help him. Cursing his bad luck, he looked objected and defeated. He didn't make the slightest effort to get down on the wheel and lift it up by himself, instead, he started cursing his luck for what happened. Looking up at the sky, he shouted, "I am so unlucky! Why has this happened to me? Oh God, please help me."
After along wait, passer-by finally appeared before the farmer. She said, "do you think you can move the chariot by simply looking up at it and whining about it? Nobody will help you unless you make efforts to help yourself. Did you try to get the wheel out of the pothole by yourself? Get up and put out your shoulders to wheel and you will soon find the way out."
The farmer was ashamed of himself. He bent down and put his shoulder to the wheel and urged on the horses. In no time the wheel was out of the mire. He learn his lesson. He thanked the passer-by and carried on his journey happily.

Related Posts: